Tan Malaka

Tan Malaka, Dijuluki Sebagai Bapak Republik yang Jejaknya Pernah Dihapus

Tan Malaka merupakan seorang negarawan, guru dan penganut Marxisme serta ahli fikir Indonesia sekaligus pendiri Persatuan Perjuangan dan Partai Murba. Bukan hanya itu, ia juga dikenal sebagai pejuang, pahlawan nasional, gerilyawan independen serta mata mata Indonesia. Ia juga dijuluki sebagai Bapak Republik Indonesia, yang ditetapkan oleh majalah tempo. Nama lengkapnya adalah Ibrahim dengan gelar Datuk Sutan Malaka. Ayahnya HM. Rasad Cinago bekerja sebagai petani, sementara ibunya Rangkayo Sinah Simabur adalah anak dari tokoh dihormati di desa mereka. Ia tinggal bersama kedua orang tuanya di Suliki, dan memperdalam ilmu agama Islam menyeluruh juga menghafal quran di luar kepala serta mempelajari ilmu seni bela diri pencat silat.

Malaka bersekolah di Kweekschool yang kini menjadi SMA Negeri 2 Bukittinggi, sekolah guru negeri di Fort de Kock. Di Kweekschool ia belajar bahasa Belanda, dan menjadi ahli pemain sepak bola. Menurut salah satu gurunya, walaupun terkadang ia menjadi anak yang tidak patuh tapi diakui ia adalah murid yang baik. Pada tahun 1913, setelah ia lulus langsung kembali ke desa nya. Ketika ia kembali ke desanya, ia diberikan gelar adat sebagai datuk serta tawaran jodoh. Setelah berhasil menerima uang dari desanya, ia melanjutkan pendidikannya sampai ke luar negeri menuju Rotterdam di tahun yang sama.

INFORMASI TENTANG TAN MALAKA

  • Nama Lengkap : Ibrahim Datuk Sutan Malaka
  • Tanggal Lahir : 2 Juni 1897
  • Tempat Lahir : Suliki, Sumatera Barat
  • Wafat : 21 Februari 1949
  • Kebangsaan : Indonesia
  • Penghargaan : Pahlawan Nasional Indonesia
  • Era : Filsafat Modern
  • Minat Utama : Epistemologi, Sosialisme, Marxisme, Trotskyisme, Pan-Islamisme

MENJALANKAN PENDIDIKAN DI BELANDA

Ketika ia sampai di Belanda, ia belajar di Rijkskweekschool atau sekolah pendidikan guru pemerintah. Saat berada di sana, ia tidak perduli dengan iklim Eropa Utara. Akibat dari itu, ia terkena infeksi radang selaput dada di tahun 1914 dan tidak sembuh sepenuhnya. Sepanjang keberadaannya di Eropa, ia memiliki minat pada sejarah revolusi dan juga teori revolusi sebagai alat untuk merubah masyarakat. Pada awalnya terinspirasi dari buku De Fransche Revolutie, yang pertamanya diberikan oleh G.H Horensma. Buku itu ada terjemahan dari bahasa Belanda, yang berasal dari buku seorang sejarawan Belanda, penulis, jurnalis dan politikus Wilhelm Blos.

Pada tahun 1917 setelah revolusi Rusia, ia semakin minat pada komunisme dan sosialisme serta sosialisme reformis. Malaka juga mulai membaca karya karya Karl Marx, Friedrich Engels dan Vladimir Lenin. Yang menjadi salah satu inspirasi politiknya, setelah membaca karya Friedrich Nietzsche. Pada masa itu, ia mulai tidak menyukai Belanda namun mulai terkesan dengan budaya Jerman dan Amerika Serikat. Kemudian ia mendaftarkan diri menjadi Angkatan Darat Jerman, namun ia ditolak karena pada saat itu mereka tidak menerima orang asing. Di tahun 1919, ia lulus dan menerima ijazah pendidikan keguruan.

AWAL MULA MASA PERJUANGAN

Setelah kelulusannya, ia meninggalkan Belanda dan kembali ke desa nya. Setelah itu ia ditawari pekerjaan, yaitu mengajari anak kuli perkebunan tembakau, di Sanembah, Tanjung Morawa, Sumatra Timur. Mulai dari tahun 1919, ia sudah berangkat ke sana namun mulai bekerja pada tahun 1920. Ia menciptakan Deli Spoor, atau lebih dikenal sebagai propaganda yang bisa menggoyahkan kuli dan mulai mempelajari tentang kemerosotan masyarakat adat yang sudah terjadi. Bukan hanya mengajar, dirinya juga berperan sebagai kontak dengan ISDV dan menulis beberapa karya untuk pers. Menjadi seorang jurnalis, ia menciptakan perbedaan menonjol pada kekayaan antara kapitalis dan pekerja. Tanah Orang Miskin, merupakan salah satu karya nya yang pertama edisi Maret 1920.

G.H Horensma menawarinya pekerjaan sebagai guru di Batavia, atau sekarang yang disebut Jakarta akan tetapi ia menolak tawaran tersebut. Ia menolak karena ingin membangun sekolahnya sendiri, dan keputusan itu diterima dan didukung oleh guru lamanya. Di tahun 1921, ia dipilih menjadi anggota Volksraado sebagai anggota kelompok sayap kiri namun ia mengundurkan diri. Kemudian ia pergi dari Batavia menuju Yogyakarta, dan tinggal di kediaman Sutopo yang merupakan mantan pemimpin dari Budi Utomo. Di tempat itu, ia membuat proposal untuk Sekolah Tata Bahasa. Di Yogyakarta ia bergabung dengan Muktamar-5, sebuah organisasi Sarekat Islam dimana ia bertemu dengan beberapa tokoh ternama seperti HOS. Tjokroaminoto, Agus Salim, dan Semaun.

TAN MALAKA BERGABUNG DENGAN PARTAI KOMUNIS INDONESIA

Setelah Sarekat Islam terpecah, dan membuat Sarekat Islam Putih yang dipimpin oleh Tjokroaminoto sementara Sarekat Islam Merah dipimpin oleh Semaun di Semarang. Setelah konferensi, Semaun memerintahkannya untuk pergi ke Semarang dan bergabung dengan PKI. Tawaran itu diterima, dan ia pergi menuju Semarang. Ketika ia sampai di Semarang, ia malah jatuh sakit. Setelah ia sehat kembali, Malaka mulai bergabung dalam pertemuan bersama sesama anggota Sarekat Islam Semarang. Pertemuan itu menyimpulkan perlu saingan dari sekolah yang dikelola oleh pemerintah. Kemudian mulai terbentuknya sekolah Sarekat Islam, yang dinamai Sekolah Tan Malaka. Sekolah tersebut mulai tersebar ke Bandung dan Ternate, dimana pendaftaran mulai dibuka dari tanggal 21 Juni 1921.

Malaka menjadi ketua Serikat Pegawai Pertjitakan (Asosiasi Pekerja Percetakan), dan bertugas sebagai wakil ketua dan bendahara Serikat Pegawai Pelikan Hindia. Di antara bulan Mei dan Agustus, ia menerbitkan karya pertamanya Sovjet atau Parlemen? yang dicantumkan dalam jurnal PKI. Ia diangkat menjadi salah satu pemimpin Revolusioner Vakcentrale, kemudian dipilih menjadi dewan redaksi jurnal SPPH suara tambang. Malaka menggantikan posisi Semaun yang meninggalkan Hindia Belanda, yang berperan sebagai ketua PKI setelah kongres di Semarang. Terlihat perbedaan cara kepemimpinan mereka, Semaun lebih berhati hati sedangkan Malaka lebih revolusioner. Di bawah kekuasaannya, PKI berhubungan baik dengan Sarekat Islam.

PENGASINGAN DI EROPA

Di tahun 1922 ketika ia mengunjungi sebuah sekolah di Bandung, ia ditahan oleh penguasa Belanda yang merasa terancam dengan kehadiran Partai Komunis. Awalnya ia diasingkan ke Kupang, namun dipindahkan ke Belanda oleh penguasa Belanda. Ketika di Belanda ia bergabung dengan Partai Komunis Belanda (CPN), yang menjabat sebagai calon ketiga dari partai untuk Dewan Perwakilan Rakyat. Malaka menjadi pokok pembahasan kolonial Belanda pertama, yang pernah mencalonkan diri untuk jabatan di Belanda.

PENGASINGAN KE ASIA

Di tahun 1925, ia pindah ke Manila, Filipina karena lingkungan yang hampir sama dengan Indonesia. Di Manila ia menjadi jurnalis surat kabar nasionalis debat, yang di edit oleh Francisco Varona. Karya publikasinya termasuk Naar de Republiek Indonesia, dan Semangat Moeda yang didukung oleh Varona. Desember 1925 di Indonesia, PKI memutuskan untuk memberontak selama 6 bulan setelah pertemuannya. Pemerintahan mengasingkan beberapa partai, setelah tau hal tersebut. Kemudian Alimin pergi ke Manila untuk meminta persetujuan dari Malaka. Namun Malaka menolak strategi ini, dan menyampaikan bahwa partai masih lemah dan tidak mempunyai kekuatan untuk melakukan revolusi lagi.

Dalam biografinya, ia mendefinisikan tentang frustasinya dan ketidakmampuannya menjaga informasi tentang kejadian di Indonesia dari tempatnya di Filipina. Sebagai komunis internasional untuk Asia Tenggara, ia berpendapat bahwa ia berhak untuk menolak rencana PKI dimana pernyataan ini dibantah oleh anggota PKI. Kemudian ia mengirim Alimin ke Singapura, dengan tujuan menyampaikan pendapatnya dan memerintahkan untuk membuat pertemuan mendadak antara para pemimpin. Karena tidak ada perkembangan, ia sendiri pergi ke Singapura untuk bertemu dengan Alimin dan Musso menuju ke Moskow untuk meminta bantuan agak melakukan pemberontakan. Ketika berada di Singapura, ia bertemu dengan Subakat yaitu pemimpin PKI lainnya yang berbagi pendapat. Setelah bertukar pikiran, mereka membatalkan rencana Alimin dan Musso.

USAHA PENANGKAPAN OLEH BELANDA

Pada tahun 1926, Tan Malaka pergi menuju Bangkok dan ia akan mempelajari ilmu kekalahan PKI. Mendirikan Partai Republik Indonesia bersama dengan Djamaludin Tamin dan Subakat, menghindar dari komunis internasional dalam manofesto partai baru mengkritik PKI. Dengan tuduhan memasuki wilayah Filipina secara ilegal, Tan Malaka di tangkap pada tanggal 12 Agustus 1927. Dr. San Jose Abad membantunya selama persidangan, namun ia harus di deportasi ke Amoy (Xiamen), China. Ia sudah ditunggu oleh polisi permukiman internasional kulangsu, di pelabuhan dengan maksud untuk menangkapnya dan akan dibawa ke Hindia Belanda karena Belanda akan menangkapnya.

Namun ia berhasil melarikan diri, karena kapten dan kru berusaha melindunginya dan mempercayakan keselamatannya kepada inspektur kapal. Kemudian ia dibawa ke suatu tempat di desa Sionching dengan kenalan baru. Di tahun 1929, ia pergi menuju Shanghai. Karena serangan dari Belanda, ia memutuskan untuk pergi ke India dengan menyamar sebagai China-Filipina memakai nama samaran. Pada awal Oktober ketika ia berada di Hongkong, ia ditangkap oleh pejabat Inggris dari Singapura dan ditahan selama beberapa bulan. Dengan harapan bisa memperdebatkan kasusnya tentang hak yang teraniaya di bawah hukum Inggris. Namun setelah ia diinterogasi, ia dipindahkan ke antara penjara bagian Eropa dan China. Setelah diputuskan, ia akan diasingkan begitu saja ke Hong Kong tanpa tuduhan apapun.

KEMATIAN TAN MALAKA

Setelah kemerdekaan Indonesia, ia bertemu dengan bangsanya sendiri dan generasi muda. Selama 20 tahun ia memakai nama samaran, ia juga sudah kembali memakai nama asli nya. Selanjutnya ia melakukan perjalanan ke Jawa, dan melihat orang dari kota Surabaya melawan Tentara India Inggris di bulan November. Mayor Sabarudin berada dalam perseteruan dengan semua kelompok bersenjata lainnya. Semua pemimpin TNI di Jawa Timur memutuskan untuk menangkap Sabarudin, beserta semua rekan rekannya dan akan dihukum sesuai dengan hukum militer. Bulan Februari, Tan Malaka ditangkap di Blimbing.

Keesokan harinya, Belanda meluncurkan serangan yang bersama Operasi Harimau dari kota Nganju di Jawa Timur. Serangan itu dilancarkan dengan sangat cepat dan kejam. Seorang peneliti Belanda, Poeze menjelaskan situasi saat prajurit TNI melarikan diri ke pegunungan dan bagaimana Tan Malaka dalam keadaan terluka masuk ke pos TNI dan langsung di eksekusi pada 21 Februari 1949. Tan Malaka tewas di tembak di kaki Gunung Wilis, Selopanggung, Kabupaten Kediri setelah ditangkap dan ditahan di desa Patje. Menurut Poeze, Letnan Dua Sukotjo dari Batalyon Sikatan Divisi Brawijaya yang memerintahkan tembakan tersebut. Tidak ada sumber yang jelas, dan Tan Malaka dimakamkan di hutan.

WARISAN YANG TIDAK TERLUPAKAN

Walaupun Malaka sudah meninggal dengan cara yang tragis, serta namanya pernah terhapus dari sejarah Indonesia namun pemikiran dan gagasannya selalu hidup khusus nya di kalangan kaum intelektual muda. Dirinya merupakan simbol dari semangat yang menentang, yang mengajarkan bahwa kecerdasan harus berjalan dengan dedikasi pada perjuangan rakyat. Perjalanan hidup Tan Malaka perlu dipahami, agar seluruh warga negara Indonesia mengetahui pengorbanan dan kedalaman filsafat dibalik kelahiran Republik Indonesia.

Baca Juga : Blend s, Perjuangan Maika Untuk Membiayai Kuliah ke Luar Negeri