Gusti Ngurah, Pejuang Asal Bali yang Gugur Dalam Pertempuran Margarana

I Gusti Ngurah Rai adalah tokoh militer Indonesia, yang berperan penting dan berjasa dalam Perang Kemerdekaan. Dirinya adalah pendiri, sekaligus panglima pertama satuan angkatan senjata Republik Indonesia di Kepulauan Kecil Sunda. Ia berperan sebagai pemimpin langsung pertempuran anti Belanda di Bali. Pada bulan November 1946, ia gugur dalam perang menghadap pasukan Belanda di Desa Marga, Bali Tengah.

 

Menjadi pahlawan nasional Indonesia, secara anumerta ia menerima penghargaan militer tertinggi dan menjadi brigadir jenderal. Dirinya adalah salah satu sosok yang paling dihormati dalam sejarah Bali modern. Beberapa tempat dinamai sesuai dengan namanya, termasuk Bandara Internasional Denpasar, universitas dan stadion di Pulau Bali. Kapan angkatan laut dan beberapa jalan juga diberi nama I Gusti Ngurah Rai.

INFORMASI TENTANG I GUSTI NGURAH RAI

  • Nama Lengkap : I Gusti Ngurah Rai
  • Tanggal Lahir : 30 Januari 1917
  • Tempat Lahir : Badung, Bali, Hindia Belanda
  • Wafat : 20 November 1946
  • Makam : Taman Makam Pahlawan Margarana, Kabupaten Tabanan
  • Kebangsaan : Indonesia
  • Istri : Desak Putu Kari
  • Anak : 3
  • Pengabdian : Indonesia
  • Dinas atau Cabang : TNI Angkatan Darat
  • Masa Dinas : 1938-1946
  • Pangkat : Brigadir Jenderal TNI
  • Pertempuran : Pertempuran Margarana
  • Penghargaan : Pahlawan Nasional Indonesia

RIWAYAT HIDUP DAN PENDIDIKAN

Lahir dari keluarga bangsawan yang makmur, I Gusti Ngurah Rai anak kedua dari 3 bersaudara dari pasangan I Gusti Ngurah Palung dan I Gusti Ayu Kompyang. Ketika ia lahir, saat itu ayahnya menjabat sebagai camat Petang. Baik kerabat maupun warga sekitar, mengenalnya sebagai anak yang ramah dan aktif. Ia suka permainan luar, dan berbagai seni bela diri termasuk pencak silat dan gulat. Kecukupan materi dan kedudukan ayahnya, memampukannya untuk belajar di Denpasar di sekolah Belanda untuk pribumi HIS (Hollandsch-Inlandsche  School).

Kemudian melanjutkan belajar di Malang, Jawa Timur melanjutkan sekolah Belanda MULO (Meer Iutgebried Lager Onderwijs). Namun karena kematian sang ayah tahun 1935, ia tidak bisa melanjutkan pendidikan tersebut dan kembali ke Bali. Setibanya di tanah kelahiran, ia hanya melanjutkan pendidikan kurang dari dua tahun dan tidak memiliki pekerjaan yang tetap. Kemudian tahun 1936, ia masuk ke sekolah Korps Prajoda yang ada di Kabupaten Gianyar. Tahun 1940 ia lulus dari sekolah militer dengan pangkat letnan dua, Rai dikirim ke Corps Opleiding Voor Reserve Officieren (CORO) di Magelang dan pendidikan Artileri di Malang.

KEGIATAN SEPANJANG PERANG DUNIA II

Pada bulan Februari 1942, pasukan Jepang tiba dikota Sanur, Bali. Lebih dari 600 pejuang dari Korps Prajoda, sebagai satu satunya formasi senjata yang berada di Bali. Walaupun sudah mengambil langkah mobilisasi, Korps Prajoda tidak bisa melawan Jepang sepenuhnya. Kelompok Korps menghindari betrokan musuh, dan gagal menghancurkan infrastruktur lapangan terbang Denpasar agar tidak digunakan oleh musuh. Karena situasi ini pasukan yang tersisa di barisan, ditarik oleh Letnan Kolonel Roodenburg dan Korps dibubarkan.

Perwira dan prajurit kembali ke Bali, sementara Jepang mengungsi ke wilayah Jawa di mana ketika itu berada dibawah kendali KNIL. Rai diketahui membantu dua temannya yang berkebangsaan Belanda, untuk pindah ke Jawa. Setelah Jepang mendapatkan Bali, termasuk Kepulauan Sunda Kecil dijadikan zona pendudukan Armada Kedua (Armada Angkatan Laut Jepang). Sama dengan orang Indonesia lainnya, Rai setia dengan Jepang dengan angan serangannya mengganggu Belanda di mana akan menjadi kesempatan untuk menciptakan bangsa yang lebih makmur. Kemudian ia pun bergabung dengan Mitsui Busan Kaisa, pusat transportasi Jepang yang ada di Bali.

Ia bertugas sebagai pengawas pasokan beras dan barang yang akan dikirim ke Jepang. Seiring berjalannya waktu, ia menyadari bahwa kehadiran Jepang hanya akan memperburuk kondisi penduduk Bali. Rai mulai mengkritik para penjajah. Ia beralih ke pasukan bawah tanah anti Jepang, di Bali dan bekerja sama dengan intelijen sekutu. Dinas itu memiliki beberapa agen rahasia, di Hindia Belanda saat masa pemerintahan Jepang. Rai menyamar sebagai kepala sel. Sel itu dianggotakan sebagaian besar temannya, serta mantan anggota dari Korps. Rai sempat dicurigai oleh polisi angkatan laut Jepang, sempat ditahan selama 3 hari namun dibebaskan karena tidak cukup bukti.

I GUSTI NGURAH RAI BERADA DI PIHAK PEMERINTAHAN REPUBLIK INDONESIA

Rai secara terbuka mendukung kemerdekaan, setelah pengumuman resmi dari Kaisar Jepang Hirohito mengenai penerimaan syarat penyerahan diri pada 15 Agustus 1945. Presiden Soekarno menjabat I Gusti Ketut Pudja, sebagai gubernur Kepulauan Sunda Kecil dengan ibu kota di Singaraja. Memiliki hubungan kerja yang dengan Ketut Pudja, Rai mulai membuat angkatan militer di pulau tersebut untuk melawan pengembalian kekuasaan Belanda. Rai terpilih menjadi komandan pasukan TKR di pulau itu, yang bermarkas besar di Denpasar.

Ia menerima pangkat mayot TKR, setelah wewenangnya dikonfirmasikan resmi oleh delegasi komando militer tertinggi yang datang ke Bali. Diperkirakan pasukan yang masih bertahan di Bali berjumlah 3.136 orang. Ada bagian dari orang Jepang, yang bersimpati dengan orang Bali yang anti Belanda. Ada kasus pemberian senjata sukarela dari militer Jepang, kepada pendukung kemerdekaan setempat. Pada akhir tahun 1945, komando Jepang mengajukan negosiasi dengan utusan Soekarno tentang pengalihan sebagian senjata mereka kepada yang terakhir.

Namun tekanan pasukan Inggris mulai mengambil senjata dan unit Jepang dari Indonesia, dan Jepang meminta republik Bali untuk mengembalikan aset keuangan yang disita. Gubernur Ketut Pudja menilai ini adalah sebuah hasutan yang tidak dapat diterima. Dalam waktu yang bersamaan, pemuda setempat yang mengetahui perbincangan itu mendukung penyitaan senjata Jepang agar tetap ada di Bali dan tidak diangkut ke Pulau Jawa. Pada tanggal 31 Desember, pasukan militer republik menyerang pasukan Jepang di Denpasar.

Dalam kerusuhan yang singkat, mereka mengalami kerugian dan dibubarkan. Dalam kejadian itu, peran Ngurah Rai masih sering jadi perdebatan. Termasuk dari sejarawan Kanada Geoffrey Robinson, yakin dalam operasi militer itu dilaksanakan atas perintah Ketut Pudja maka dari itu Ngurah Rai tidak bisa ikut serta dalam persiapannya. Di samping itu, Iwan Santosa selaku wartawan Indonesia, berpendapat serangan pada kelompok Jepang itu merupakan sikap wewenang yang dilaksanakan oleh aktivis yang bukan dari anggota Ngurah Rai.

TIBA DI PULAU JAWA

Pada tanggal 13 Januari 1946, ketika Ngurah Rai sampai di Yogyakarta kota ini dinyatakan sebagai ibu kota sementara republik Indonesia. Pada saat itu, republik Indonesia kehilangan kendali atas Jakarta. Mendapat dukungan dari pasukan Inggris, pemerintahan kolonial Belanda dapat dipulihkan. Oerip Soemoharjo selaku pimpinan staf umum memberi apresiasi kepada perwira Bali yang semangat berjuang. Mendengar Keaktifan Ngurah Rai, presiden Soekarno berkenalan dengannya. Kepala negara tersebut tersentuh, karena komando formasi militer Bali yang badannya begitu kecil.

Pasukan agresif yang dibuat Ngurai Rai, disatukan dalam struktur angkatan bersenjata nasional. Kemudian kelompok ini secara resmi dimasukkan dalam, batalion di divisi VII pasukan darat republik Indonesia pada tanggal 1 Februari yang dibuat selama periode itu di Jawa Timur. Selama Rai berada di Pulau Jawa, keadaan dibali berubah dengan begitu cepat. Bulan Januari perwakilan dari kekuasaan Belanda tiba di Bali didampingi oleh militer Inggris. Gubernur Ketut Pudja yang berada dibawah tekanan Inggris dan Belanda, terpaksa memberikan sebagian kekuasaannya kepada Dewan Pangeran.

Keberadaan Belanda dengan pendukung Bali awalnya terbebas dari konflik. Secara resmi para pimpinan republik meninggalkan kegiatan pemberontakan, maka dari itu mereka terlepas dari siksaan penjajah. Batalion Ngurah Rai ditelantarkan tanpa komandan, tidak bubar secara resmi namun unitnya terpaksa meninggalkan tempat. Sebagian pejuang pulang dan sebagian membuat beberapa tempat di hutan. Bentrokan antara militer Belanda, dengan penduduk setempat mulai terjadi pada pertengahan bulan Maret.

AKHIR HAYAT DALAM PERTEMPURAN TERAKHIR

Atas inisiatif sendiri, Ngurah Rai melanjutkan perjuangan dengan harapan bisa mengusir Belanda dari Bali. Dari beberapa sumber, jumlah anggota Jepang yang mendukung Ngurah Rai ada sepuluh orang dua diantaranya adalah perwira. Unit yang beranggota 90 orang ini diberi nama Ciung Wanara. Ngurah Rai berseruh kepada Ciung Wanara, jangan takut Sunda kecil harus bisa berdiri sendiri walaupun kurang perhatian dari pusat. Rai berencana untuk merebut senjata dari musuh, karena persediaan senjata yang mereka miliki kurang untuk melakukan perlawanan. Asrama polisi di kabupaten Tabanan menjadi target, karena aman dan nyaman dan banyak senjata yang disimpan disana. Kepala polisi bernama Wagimin menjadi pendukung rahasia dan informan untuk mereka.

Selain 95 pejuang Ciung Wanara, Ngurah Rai meminta 300 orang penduduk setempat terdiri dari petani untuk ikut serta dengan para pejuang dalam operasi tersebut. Sebelum operasi berjalan, Ngurah Rai dan pejuang lainnya mengunjungi pura Hindu sekitar untuk berdoa keberuntungan. Pasukan Ngurah Rai mulai menyerang asrama Tabanan pada 18 November 1946, mereka menyita senjata dan amunisi. Terdiri dari 36 karabin, 2 senapan mesin Bren, 2 senapan mesin ringan dan 8 ribu butir amunisi. Wagimin adalah peran utama dalam kesuksesan operasi ini, dan bergabung dengan Ciung Wanara. Terlepas dari kelengkapan senjata, pasukan petani pembantu bubar dan pejuang lain mundur ke tenda yang sudah disiapkan didekat Desa Marga.

Keesokan harinya, Belanda menemukan tenda pasukan Ciung Wanara. Kemudian sehari berikutnya, diserang dengan pesawat di terbang dari Makassar serta pasukan jalan kaki diarahkan dari pulau Lombok. Bentrokan pertama terjadi pada pukul 10.00, pejuang menghindari pengepungan mundur dari pertempuran lewat ladang jagung yang mengelilingi desa Marga. Usaha itu gagal, dan mereka mengalami kerugian besar dan terpojok didekat ngarai gunung. Mereka menolak tawaran menyerah dari Belanda, dan pertempuran berikutnya dijalankan pukul 14.00 sampai 17.00 di mana seluruh pejuang Ciung Wanara serta Ngurah Rai sendiri gugur dalam pertempuran itu.

PENYEBAB KEMATIAN

Tidak dapat dipastikan apa penyebab kematian Rai, namun ada sumber yang membenarkan bahwa ia jatuh dari tebing. Tahun 2008, dalam wawancara media lokal salah satu ahli perang gerilya mengatakan bahwa jasad Ngurah Rai yang dikirimkan oleh Belanda setelah pertempuran ke Denpasar dipenuhi dengan luka bakar. Karena pernyataan itu, banyak yang berpendapat bahwa komandan Ciung Wanara ini tewas karena ledakan bom. Pertempuran yang dioperasikan oleh Rai dan pasukan Ciung Wanara, dinamakan dengan Pertempuran Maragana. Penulis sejarah Indonesia menyampaikan, bahwa pemimpin pejuang Bali itu meminta teman temannya untuk melakukan perang puputan. Disebut juga perang habis habisan dengan kematian di tangan musuh atau bunuh diri. Jasad Rai diberikan kepada keluarga dan dimakamkan di desa asalnya Carangsari.

ISTRI DAN ANAK ANAK I GUSTI NGURAH RAI

Ketika dengan belajar militer tahun 1939, Rai menikahi gadis biasa bernama Desak Putu Kari. Dari pernikahan ini mereka mempunyai 3 anak, I Gusti Ngurah Yudana, I Gusti Ngurah Tantra, dan I Gusti Ngurah Alit Yudha. Rai sendiri tidak sempat bertemu dengan Alit Yudha, karena ia lahir setelah Rai gugur di pertempuran Maragana. Sadar akan resiko yang besar dari pertempuran ini, Rai mengatakan kepada istrinya untuk tidak menunggu dia kembali melainkan anggap saja ia sudah mati.

Keluarga Rai sangat diincar oleh Belanda, rakyat setempat sempat bersimpati namun takut akan Belanda. Mereka pun ditahan oleh Belanda, dan Desak Putu Kari diinterogasi oleh Belanda saat ia sedang hamil anak ketiganya. Anak ketiga Rai, I Gusti Ngurah Alit Yudha adalah pejabat tinggi Golkar. Ia memimpin cabang partai Bali selama bertahun tahun. Dirinya juga menjadi anggota Dewan Perwakilan Rakyat Republik Indonesia, dari tahun 1999-2004. Ikut serta akan acara yang digelar sebagai bentuk dedikasi untuk Ngurah Rai.